Jumat, 25 Maret 2011

MAKALAH

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA


DISUSUN OLEH:

Muhammad agus nur
AKM. 0309037
KELAS 1 A

AKADEMI ANALIS KESEHATAN MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2010



KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nyalah sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah Kewarganegaraan. Tak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kelancaran pengerjaan makalah ini.
Seperti kata pepatah bahwa “tak ada gading yang tak retak” maka demikian halnya dengan makalah ini yang tentu masih sarat akan kesalahan dan kekurangan karena terbatasnya pengetahuan saya. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif untuk menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca pada umumnya, dan saya sendiri pada khususnya. Terima kasih.



Makassar, 28 April 2010


PENULIS





DAFTAR ISI

Halaman Judul 1
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA 5
BAB III PENUTUP 10
TAMBAHAN:
PENDAPAT PENULIS TENTANG HUKUM DI INDONESIA 11
DAFTARPUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai system nilai acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir; atau jelasnya sebagai sistem nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah/tujuan bagi bangsa Indonesia. Sebelum mengetahui bagaimana Pancasila sebagai Paradigma, perlu dipahami dahulu sejarahnya, sebagai berikut.

Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia sebagai Titik Tolak Memahami Asal Mula Pancasila

Asal mula Pancasila secara materil merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yaitu berupa nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila; secara formal merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah pergerakan nasional yang berpuncak pada proklamasi kemerdekaan, yaitu berupa proses perumusan dan pengesahannya sebagai dasar filsafat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara materil, nilai-nilai Pancasila bermula dari tradisi hidup berdampingan (antar-yang-berbeda agama), toleransi umat beragama, persamaan haluan politik yang anti-penjajahan untuk mencita-citakan kemerdekaan, gerakan nasionalisme, dan sebagainya. Yang kesemuanya telah hidup dalam adat, kebiasaan, kebudayaan, dan agama-agama bangsa Indonesia.
Secara formal, perumusan Pancasila disiapkan oleh BPUPKI (29 Mei s.d. 1 Juni 1945) dan disahkan oleh PPKI (18 Agustus 1945). Asal mula Pancasila sebagai dasar filsafat negara dibedakan ke dalam:
(1) causa materialis, yaitu berasal dari dan terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan,
(2) causa formalis dan finalis, yaitu terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sekitar proklamasi kemerdekaan,
(3) causa efisien, yaitu terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan.


BAB II

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA

A. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Dengan memasuki kawasan filsafat ilmu, ilmu pengetahuan yang diletakkan di atas Pancasila sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya.
Pada ontologisnya berarti hakikat ilmu pengetahuan merupakan aktivitas manusia Indonesia yang tidak mengenal titik-henti dalam upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan yang utuh dalam dimensinya sebagai masyarakat, sebagai proses, dan sebagai produk. Sebagai masyarakat berarti mewujud dalam academic community; sebagai proses berarti mewujud dalam scientific activity; sebagai produk berarti mewujud dalam scientific product beserta aplikasinya.
Pada epistemologisnya berarti Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandungnya dijadikan metode berpikir (dijadikan dasar dan arah berpikir) dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, yang parameternya adalah nilai nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri.
Pada aksiologisnya berarti bahwa dengan menggunakan epistemology tersebut, kemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negative tidak bertentangan dengan ideal Pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.


B. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hukum

Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu: (1) adanya perlindungan terhadap HAM, (2) adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan (3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.
Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD—termasuk perubahannya—, demikian juga UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila-sila Pancasila dasar negara). Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujudan aspirasi rakyat).

C. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial Politik

Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik:
• Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
• Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan;
• Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan;
• Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab;
• Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu
direkonstruksi ke dalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah:
~ nilai toleransi;
~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).
D. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ekonomi

Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesar-besar kemakmuran/kesejahteraan rakyat—yang harus mampu mewujudkan perekonomian nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi.
Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program
kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah. Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum.


E. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Kebudayaan Bangsa

Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua). Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu.
Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi
kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan bersama, bagi kebudayaan-kebudayaan di daerah:
(1) Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
(2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
(3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat;
(4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan
kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
(5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.


F. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan
Paradigma-baru TNI

Dalam rangka menjadikan Pancasila (sila-sila Pancasila) sebagai paradigma pembangunan pertahanan adalah berupa: (1) Tindakan TNI senantiasa: (a) melaksanakan tugas negara dalam rangka pemberdayaan kelembagaan fungsional, (b) atas kesepakatan bangsa, (c) bersama-sama komponen strategis bangsa lainnya, (d) sebagai bagian dari sistem nasional, (e) melalui pengaturan konstitusional; dan (2) pada hakikatnya merupakan pemberdayaan bangsa.
Esensi implementasi paradigma-baru itu—secara internal TNI—berupa:
(1) tanggalkan kegiatan sosial politik,
(2) bertugas pokok pada pertahanan Negara terhadap ancaman dari luar negeri,
(3) keamanan dalam negeri merupakan fungsi Polri,
(4) melakukan penguatan dan penajaman pada konsistensi doktrin gabungan
(keseimbangan AD-AL-AU).
Paradigma-lama TNI (ABRI) berupa:
(1) pendekatan keamanan pada masalah kebangsaan,
(2) posisi ABRI dekat dengan pusat kekuasaan,
(3) ABRI sebagai penjuru bagi penyelesaian segenap masalah kebangsaan, (4) ABRI dapat ambil inisiatif bagi penyelesaian masalah kebangsaan,
(5) ABRI berperan dalam sistem politik nasional,
(6) bermitra tetap dalam politik: dukung mayoritas tunggal.


G. Implikasi Paradigma Pancasila pada Pemahaman UUD 1945

Karena Ideologi Pancasila merupakan pandangan hidup (PH), dasar Negara (DN), dan tujuan negara (TN) di Negara Kesatuan Republik Indonesia, ia harus dijadikan sistem nilai acuan (paradigma) dalam memahami UUD 1945. Selanjutnya, karena UUD 1945 merupakan hukum dasar (yang tertulis) bagi segala norma moral bangsa (NM), norma hukum nasional (NH), dan norma politik/kebijakan pembangunan (NK), ia harus dijadikan landasan bagi pembangunan moral bangsa, hukum nasional, dan kebijakan pembangunan nasional di segala bidang. Sehingga, pembangunan moral, hukum, dan kebijakan pembangunan di Indonesia harus dalam kerangka merealisasikan, selalu berada di jalur, dan selalu mengacu pada nilai-nilai yang terdapat dalam sila-sila Pancasila. Implikasinya pada pemahaman UUD 1945 dapat dijelaskan bahwa setiap pemaknaan, penafsiran-kembali, atau perubahan UUD 1945 harus ditempatkan dalam kerangka memahami, merealisasikan, menjabarkan, menegakan, dan mengacu pada nilai-nilai yang terkandung dalam kesatuan sila Pancasila.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistemnilai acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir; atau jelasnya sebagai sistem nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah/tujuan bagi bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai Paradigma dapat diterapkan dalam berbagai bidang untuk pengembangan bidang-bidang tersebut, yakni:
A. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan
B. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hukum
C. F. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial Politik
D. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ekonomi
E. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Kebudayaan
Bangsa
F. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan


B. SARAN
Warga negara Indonesia merupakan sekumpulan orang yang hidup dan tinggal di negara Indonesia Oleh karena itu sebaiknya warga negara Indonesia harus lebih meyakini atau mempercayai, menghormati, menghargai menjaga, memahami dan melaksanakan Pancasila, salah satunya dengan penerapan Pancasila sebagai Paradigma di negara Indonesia.


TAMBAHAN:

PENDAPAT PRIBADI PENULIS MENGENAI HUKUM DI INDONESIA

Sebelum mengemukakan pendapat saya tentang hukum di Indonesia, pertama-tama saya akan menjelaskan terlebih dahulu definisi hukum. Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya.
Berdasarkan Undang-Undang, Indonesia adalah sebuah Negara hukum, artinya kenegaraan didasarkan pada dan berlandaskan atas dasar hukum. Hukum sebagai panglima dalam segala aktivitas bangsa kita, semua persoalan diselesaikan lewat jalur hukum untuk menjamin hak-hak warga Negara. Bangsa kita ini nampaknya taat hukum, tapi ternyata penyimpangan terhadap hukum paling tinggi di Asia.
Dilihat dari pengalaman sejarah selama ini tampak adanya diskriminasi terhadap sebagian warga Negara Indonesia, karena hak dan kewajiban yang dimiliki oleh setiap insane warga Negara Indonesia dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Masih dirasakn adanya diskriminasi perlakuan terhadap masyarakat, misalnya ketika seorang WNI keturunan akan membuat KTP , maka biaya KTP akan lebih mahal bila dibandingkan dengan warga Negara Indonesia lainya. Atau misalnya perlakuan hukum terhadap elite akan berbeda dengan perlakuan terhadap rakyat biasa bila terjadi pelanggaran hukum. Sikap diskriminatif ini juga timbul karena belum memadainya penegakan hukum dalam system hukum nasional, misalnya banyaknya kasus-kasus korupsi yang dibebaskan di beberapa pengadilan negeri. Rasa diskriminatif ini juga dirasakan oleh sebagian warga Negara Indonesia, terlihat dari banyaknya kasus gugatan masyarakat ke DPR-RI, DPRD, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah misalnya kasus-kasus tanah. Banyaknya kasus-kasus tersebut, sebenarnya karena belum berjalannya penegakan hukum di Indonesia selama ini. Penegakan hukum di Indonesia selama ini dirasakan bekerja secara sektoral atau setengah-setengah, kurang terintegrasi, misalnya dalam perkara korupsi, masih ada perbuatan proses penyidikan antara Polri dengan pihak kejaksaan. Salah satu sebab belum maksimalnya pekerjaan dari penegak hukum selama ini, karena masyarakat merasa pesimis terhadap aparat penegak hukum. Rasa pesimis ini dirasakan oleh masyarakat karena masyarakat menganggap bahwa hukum itu sebagai sesuatu yang mahal dan hukum itu masih berpihak pada individu tertentu, yaitu orang-orang kaya, sementara rakyat kecil akan sangat sulit untuk memenangkan perkara, karena tidak mampu membayar penasehat hukum/pengacara.
Kita melihat bahwa kepentingan hukum dengan kepentingan politik sering berimpit ataupun bergesekan, praktek-praktek hukum sering berorientasi kepada kekuasaan atau kepentingan politik. Disinilah akan menjadi tantangan bagi para aparat penegak hukum, apakah hukum yang ditegakkan berdasarkan bukti-bukti yang rasional dikalahkan oleh kepentingan politik yang berdasarkan emosional? Apakah suatu proses peradilan terhadap seseorang karena adanya bukti-bukti konkrit dari suatu pelanggaran hukum, atau hanya karena dendam politik suatu rezim yang sedang berkuasa, dalam hal ini nuansa kepentingan politiknya tentu lebih menonjol. Citra bahwa hukum hanya berlaku bagi pihak yang lemah/rakyat, memberikan pembenaran bahwa pihak penguasa/pemerintah/negaralah yang harus selalu dimenangkan dalam setiap penyelesaian perkara hukum apabila melibatkan pihak penguasa. Untuk itulah masyarakat luas perlu disadarkan dan diberikan pemahaman tentang hak dan kewajban dalam penegakan hukum yang berlaku dalam Negara. Dari sinilah pemerintah/Negara harus benar-benar dapat melindugi warganya dari praktek-praktek ketidakadilan, agar citra sebagai Negara hukum dapat terwjud.
Saya pribadi sangat merasakan sebuah ‘krisis kepercayaan’ terhadap pemerintah dan hukum yag berjalan di Indonesia. Apalagi dengan maraknya kasus-kasus yang sekarang hangat dibicarakan masyarakat Indonesia, yang katanya rentan oleh makelar kasus maupun mafia hukum, kehadiran makelar kasus ini betul-betul mengikis kepercayaan masyarakat, seiring dengan kemunculan kasus kasus yang sering sama sekali tidak diketahui oleh ‘terdakwanya’ atau mungkin lebih tepat disebut ‘kambing hitam’ seperti kasus yang menimpa seorang pedagang kaki lima yang tiba-tiba dituduh memiliki ganja, padahal dia tidak pernah berurusan dengan barang haram itu, aparat penegak hukum yang bertindak seperti itu seperti ‘kurang kerjaan’ saja menurut saya. Saya berharap suatu saat nanti hukum di Indonesia dapat benar-benar ditegakkan seadil-adilnya, tanpa memandang siapa yang diperhadapkan dengan hukum, semoga.


DAFTAR PUSTAKA

Supriatna, Nana. 2006. Sejarah untuk Kelas XI. Bandung: Grafindo.
Mutalib, Abdul. 2008. LKS PKn untuk Kelas XII. Bandung: Yudistira.
Mardiyanto. 2004. Pendidikan Kewarganegaraan SMK Kelas XI. Yudistira: Bandung.
Mubyarto. 2000. Membangun Sistem Ekonomi. Yogyakarta: BPFE.

Hasil pemikiran sendiri:
Zainab, pada hari Rabu, 28 April 2010, pukul 20.00 WITA.
Zainab, pada hari Kamis, 29 April 2010, pukul 10.00 WITA.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar